Kisah anak kandung menggugat ibunya di Pengadilan Negeri Atambua yang viral di sosial media menyisahkan luka yang mendalam untuk Kristina Taolin, 58 tahun. Ibu dengan 3 (tiga) orang anak ini tak henti-hentinya menceritrakan kisah hidupnya di saat anaknya, Santy Taolin itu masih kecil, menginjak remaja dan dewasa hingga berkeluarga, hingga suaminya Dominggus Taolin almarhum meninggal dunia pada 6 Januari tahun 2007 silam. Setelah suaminya meninggal dunia, ibu Kristina bekerja dan berjuang membiaya anak ketiganya Hanny Oktavian Taolin yang sekarang masih kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya Jawa Timur.
Kepada media ini, Kamis (15/4/2021) di Gerbades Kota Atambua Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Kristina Lazakar mengisahkan perjalanan hidupnya bersama suami dan anaknya Santy Taolin dari Mena hingga ke Suai, Timor Leste dan kembali ke Atambua sampai sekarang.
“Saya tidak ke kantor, tapi pergi ke pasar. Kantorku di pasar, disana berkerumun banyak orang, berdesak-desakan, menggendong anak pertama Santy Taolin yang masih kecil yang umurnya sekitar 1 (satu) tahun waktu itu, sambil berjualan. Saya ke pasar membawa kue dan roti yang dibuat sendiri”, jelas Kristina Lazakar membuka percakapan.
“Sebelum berangkat ke pasar, saya terlebih dahulu mandikan anakku Santy Taolin dan memberinya makan. Sebelum ke pasar, saya mampir di toko dan mengambil barang (hutang), mencari untung kecil-kecilan. Setiap hari saya bolak balik ke pasar, mencari uang. Suamiku hanya seorang sopir bemo pada tahun itu, tahun 1979 – 1980. Sebagian orang mengolok-olok saya, perempuan kok pergi pasar membawa kue dan roti? Aneh!”, ujarnya, berkisah.
Lalu mereka tertawa pekerjaan saya yang berjualan sambil menggendong Santy Taolin yang masih kecil waktu itu. Mereka menertawakan saya. Kata mereka, saya kurang kerjaan, jual roti dan kue kan bisa di rumah, tidak harus di pasar karena anak masih kecil. Beberapa kawan yang lain bilang, saya seperti lelaki. Begitulah, kata mereka, apa memang perempuan tak boleh ke pasar membawa kue dan roti berjualan sambil menggendong anak?, kisah Kristina Lazakar dengan linangan air mata.
Pada suatu hari, suami saya pulang dari taksi sebagai sopir bemo, pulang dengan dada dongkol. Ingin rasanya ditumpahkan kedongkolan itu ke muka saya. Karena suami saya mendengar banyak omelan dari orang-orang itu.
Biasa suami sampai di rumah, saya menyuruhnya berganti pakaian, lalu makan. Tapi suami tak menghiraukan waktu itu, sambil berseru, mama (panggilan kesukaan suami) jangan pergi ke pasar lagi. Jangan lagi.
Saya membalas seruan suami dengan tatapan bingung, lalu geleng-geleng, kembali saya menyuruhnya berganti baju, lalu makan. Tapi suami saat itu belum menggubris.
Saya langsung beringsut ke arah meja. Di atas meja makan tanpa kursi itu, sebakul kecil nasi terhidang, ditemani beberapa ekor ikan badar goreng, daun singkong yang direbus, serta sambal kemangi. Suamiku mengalah dan makan. Tampak suami makan dengan lahap. Setelah makan, suami menatapku dan saya berkata, “Ikan yang dimakan itu hasil dari saya pergi jualan di pasar tadi.”
Saya berkata soal pasar, dan itu mengingatkanku pada ejekan orang-orang tadi. Dongkol di dadaku kembali, kata Kristina.
Seandainya suamiku orang mampu, saya tak akan pergi kepasar. Sejujurnya saya lebih suka memasak dan membersihkan rumah sambil momong anakku, ketusnya lagi.
Suamiku tak bisa pergi pasar. Karena suamiku harus keluar pagi pulang malam sebagai sopir bemo, dengan pendapatan apa adanya untuk kami bertahan hidup. Karena itu, saya bekerja keras membantu suami, jualan di pasar sambil menggendong anakku Santy Taolin yang kini sudah dewasa, kemudian mengusirku keluar dari rumah dan menggugat saya di Pengadilan.
Sejak menikah tahun 1979, hidup kami pas-pasan. Kami hidup susah, tapi kami tak pernah putus asa. Saya dan suami tetap bekerja, terlepas orang mau omong apa pada kami. Tahun 1980 anak kami yang pertama bernama Santy Taolin lahir.
Di tahun-tahun itu, dengan menggendong anak kami Santy Taolin yang baru berumur beberapa bulan, saya berjalan keliling pasar untuk berjualan.
Suatu saat waktu saya di pasar sedang jual dan menggendong anak Santy Taolin, bertemu dengan bapak saya di pasar Ponu, dengan linangan air mata saya ceriterakan perjalanan hidup kami yang menderita di bapakku.
Setelah saya ceritra di bapak, bapakku memberikan 1 (satu) buah mobil dum truck dengan catatan mengembalikan uangnya sejumlah Rp 35.000.000,- (tiga puluh lima juta). Saya menyanggupi permintaan bapak.
Selain sopir bemo, suamiku bolak balik keluar masuk kampung untuk bisnis sapi selain sebagai sopir bemo. Ketika suami masuk kampung beberapa hari di sana, ada yang pesan pasir, saya menyetir sendiri dum truck pemberian bapak untuk muat pasir hingga 6 (enam) ret. Sambil sopir, disamping ada anak saya Santy Taolin yang masih kecil.
Dengan bantuan dum truck pemberian bapak, hidup kami agak membaik, pendapatan yang masuk disisihkan sebagaian untuk makan dan sebagian ditabung dari hasil dari dum truck, ditambah suami keluar masuk bisnis sapi akhirnya kami dapat membeli tanah dan buat rumah tinggal.
Selain jual kue dan roti di pasar, saya mengambil juga barang di toko dan jual di pasar-pasar (tanpa modal). Perjuangan hidup begitu susah, Kami tidak mau anak-anak hidup susah di kemudian hari, mandi keringat di jalan dan pasar untuk mencari dan berjualan.
Pada tahun 1986, anak kami kedua Ervina Taolin lahir. Waktu itu, kami masih di Mena, Timor Tengah Utara (TTU). Pada tahun 1991, kami pindah ke Timor Leste, kami ada armada dum truck pemberian bapak, sudah cukup kuat bagi kami sekeluarga. Prinsip kami waktu itu, kalau mau maju harus keluar kampung.
Setelah hijrah di Timor Leste, kami berjuang lagi disana, dengan modal yang ditabung, disana kami bisa membuka toko dan usaha armada bus rute Suai – Dili, ada 4 (empat) unit waktu itu. Satu hari ada 2 (dua) unit berangkat dari Suai ke Dili. Dua unit lagi balik dari Dili ke Suai dan nginap semalam.
Awal rumah yang kami tempati di Timor Leste tahun 1991 adalah kontrak selama 2 (dua) tahun, hingga akhirnya tanah itu kami beli. Waktu terus berjalan, tepat tahun 1997 pas saya hamil besar anak ketiga Hanny Oktavian Taolin, tengah malam waktu itu terjadi kebakaran, 1 (satu) toko dan sebuah rumah di belakang toko dengan segala isinya ludes terbakar. Tinggal pakaian di badan. Saya hampir mau gila waktu itu. Satu minggu setelah kebakaran anak ketiga kami Hanny Oktavian Taolin lahir. Anak kami Hanny dan Epin beda 12 tahun. Waktu itu saya melahirkan di Dili.
Pada tahun 1998, kami mendapat asuransi kebakaran sejumlah Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dari uang itu kami bangun rumah dengan toko 2 (dua) lantai.
Kalau mengingat kisah hidup dulu, saya seperti babu, tidak urus diri, hanya urus cari uang karena ingat mereka anak-anak kami yang masih kecil-kecil.
Saya buka toko sampai pkl 21.00 malam. Habis mandi, saya harus kasih naik lagi terigu 1 (satu) sak setiap malam sampai pukul 23.00-24.00 untuk buat roti. Jam 03.00 pagi saya sudah harus bangun buat roti dan kue, karena pagi jam 07.00 toko sudah buka dan kue, roti sudah digelar.
Habis gelar kue, saya harus cek manifest penumpang mobil, takut ada yang tidak dijemput, nanti orang mengamuk. Pada tahun 1999, Timor Timur lepas dari Indonesia membuat kami harus tinggalkan tempat usaha kami di Timor Leste. Waktu kami eksodus ke Atambua, bapak saya memberikan toko yang sekarang bernama toko Gloria, bapak saya langsung buatkan surat hibah dan sertifikat atas nama saya sendiri. Sambil usaha sedikit-sedikit, akhirnya kami dapat membeli tanah dan membuat rumah di Atambua sampai sekarang, dan sekarang digugat anak kandung kami Santy Taolin dan sedang berjalan di Pengadilan Negeri Atambua.
“Saya kecewa dan sakit, anak kandung saya Santy Taolin sedang lupa diri, melupakan saya sebagai mama kandungnya yang mengandung, melahirkan, merawatnya hingga besar sampai dia berumah tangga. Setiap saya ingat kisah itu saya cucurkan air mata, saya benar-benar kecewa, sedih. Karena membuat saya menderita adalah anak kandung saya sendiri”, jelas ibu Kristina Lazakar dengan deraian air mata. (Azis/Anggota Media Group Persatuan Pewarta Warga Indonesia/PPWI). Sumber: aksinews.id
Post a Comment