-->

Ads 720 x 90

"Berenang Bareng Laki-laki Di Kolam Renang Bisa Hamil "Vs Matinya Kepakaran

Oleh Charles Wiseman Charles: MATINYA KEPAKARAN (THE DEATH OF EXPERTISE)

 Fenomena ini harus diwaspadai karena dapat mengakibatkan terombang ambingnya sistem nilai humanity dan kewarasan yang seharusnya universal, menjadi melenceng karena didrive oleh medsos dan opini publik yang disetir. Statemen anggota KPAI tentang bisa hamilnya perempuan disebabkan berenang dalam kolam yang sama dengan lelaki adalah salah satu contoh, orang intelek saja bisa termakan input yang konyol.

Upaya koreksi terhadap fenomena buruk ini adalah: perbanyak literasi dari sumber yang kompeten, buang dogma yang menyuruh kita menerima/menelan sesuatu tanpa boleh meragukan dan tanpa boleh berpikir. 

Baca Juga:

BORDERLESS

DI PONDOK INDAH MALL, Jakarta Selatan,  pekan lalu, menjelang tutup tahun 2018, empat “pinisepuh” ngumpul dan ‘kongkow’ di TB Gramedia, toko buku yang kini menyediakan cafe, kami dihadang oleh pajangan buku menarik. Judulnya “Matinya Kepakaran  - The Death of Expertise: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya” karya Tom Nichols (2017).

Bersama kami ada Judi Kristianto, Mas Dwi dan Wina Armada SA, senior saya. Langsung saya ingatkan kepada Mas Wina tentang topik itu, yang pernah dibawakan oleh Bre Redana, wartawan ‘Kompas’, pengamat budaya, cerpenis dan novelis dalam workshop kritik film beberapa bulan lalu.  

Bre Redana menyatakan, di era internet ini, kepakaran sudah tidak diperlukan, karena wacana publik sudah dikuasai oleh kaum awam yang menggunakan media sosial.  

Baca Juga:

Pengamat politik, kritikus film, dan pengamat olahraga sudah kalah oleh netizen.

“Sekarang ini kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya, “ kata Bre Redana, wartawan senior, lulusan School of Journalism and Media Studies, Darlington, Inggris.

Lewat buku ‘The Death of Expertise’ Tom Nichols  menyampaikan keresahannya untuk publik Amerika Serikat, namun kondisi yang sama ternyata dialami oleh masyarakat secara global. ‘Matinya Kepakaran’  tampaknya, kini sudah mendunia. Khususnya di AS.

Pengetahuan dasar rata rata orang Amerika saat ini sangat rendah, katanya. Bahkan, sampai menembus lantai “tak dapat informasi”, meluncur ke arah “salah informasi” dan sekarang terempas ke “ngawur secara agresif”.  

Di era informasi seperti sekarang ini, justru banyak melahirkan apa yang dia sebut ‘ignorance’ atau kedunguan di kalangan publik di AS. Kegandrungan pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif – hingga kepakaran terancam mati. Orang hanya memerlukan informasi tambahan untuk menguatkan keyakinannya ketimbang kebenaran itu sendiri. 

“Saya khawatir kita sedang menyaksikan ‘matinya ide ide kepakaran itu sendiri’ : kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu gara gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang memiliki pencapaian di sebuah bidang dan mereka yang tidak memiliki pencapaian sama sekali. (hal 3) 

Dicontohkan, pada tahun 2014 ‘Washington Post’ melakukan jajak pendapat dengan warga, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer, setelah Rusia melakukan invasi ke Ukrania. Mayoritas warga AS setuju intervensi, namun setelah disurvei,  hanya satu  dari enam dari warga AS yang tahu dimana lokasi Ukrania berada. 

Terbaru:
Di sini, contoh paling valid dengan “matinya kepakaran” adalah ketika netizen lebih percaya kepada Neno Warisman ketimbang Dr. Sri Mulyani, lebih percaya kepada artis Rachel Maryam daripada Gurubesar UI, Prof. Dr. Reinald Kasali, dan puas dengan paparan Rocky Gerung ketimbang penjelasan Prof. Dr. Mahfud MD. 

Bahkan dalam kasus operasi plastik Ratna Sarumpaet, yang heboh beberapa waktu lalu,  ada yang lebih percaya Fadli Zon dan Fahri Hamzah, ketimbang dr.Tompi, yang secara profesional menggeluti bedah plastik kecantikan. Dia langsung mencium kecurigaan hanya dengan melihat jenis perban dan kerutan di dahi RS, yang kemudian ternyata benar. 

Terbaru:
“Dalam hal agama juga demikian, “ kata Mas Dwi, teman baru kami, pensiunan TNI yang kini aktif di partai nasional. 

“Sekarang orang mudah sekali mengaku diri sebagai ustadz, habaib, sebagai ulama, padahal.....” katanya dengan mendesah, “ Saya muslim, tapi terus terang saya tidak percaya mereka...” katanya, lirih. 

Dia tak habis pikir bagaimana para kyai besar yang menekuni ilmunya puluhan tahun dan mendalami kitab kuning serta mewarisi pesantren besar dan berpengaruh - bisa kalah populer oleh anak anak muda yang mengaku (atau disebut) sebagai  ‘ustadz’, ‘habaib’ Dann mendadak jadi seleb di teve. 

Artikel Terkait:

REKOMENDASI UNTUK ANDA

JANGAN LEWATKAN INI

Post a Comment

Berlangganan Artikel terbaru
banner